Dengan sempoyongan Davi berusaha berjalan menuruni tangga menuju pintu. Suara bel telah memanggil dirinya sejak tadi. Ternyata Mbok Darsih sedang belanja sayur dan terpaksa Davi yang masih menahan rasa sakit di perutnya karena saat liburan di Bandung kebanyakan makan sambal harus membukakan pintu.
Sosok pemuda berseragam SMA berdiri di balik pintu.
“Sudah pulang kak. Kok cepat benget?” tanya Davi sambil memegang perutnya.
“Nanti sore balik lagi. Malahan nginep di sekolah. Trus besok pagi udah dimulai orientasinya,” jawab Radit sembari menyerahkan sebuah map pada adiknya.
“Kok udah dapat kwitansi daftar ulang dan dan ID Card buat kegiatan orientasi. Padahal Kak Radit nggak mau aku suruh. Apa nanti teman kakak nggak curiga?” balas Davi seraya melihat isi berkas-berkas dalam map.
Radit lantas tersenyum pada adiknya dan menjelaskan bahwa bukan dirirnya yang melakukan itu tetapi tadui dia titip pada siswa baru yang lainnnya. Tentunya Radit tidak tega melihat adiknya yang sedang sakit perut itu mengurusi hal tersebut sampai datang ke sekolah. Radit sangat menyayangi adiknya itu seperti adik kandungnya sendiri. Orangtua Davi telah mengadopsi Radit dari rumah sakit karena putra pertama mereka telah diculik oleh saingan bisnis ayah Davi.
“Kalo kamu sakit, besok nggak usah masuk aja dulu,” kata Radit saat mereka menuju lantai dua.
“Aku udah mendingan kok. Nggak perlu khawatir,” balas Davi dengan santai.
“Tapi kalo ada sesuatu kamu tanggung sendiri akibatnya. Dan kamu ...,” sahut Radit belum selesai
“Oke. Aku tahu semua itu. Trus yang terpenting aku nggak bakal bilang kalo aku adiknya Kak Radit. Gitu kan?” balas Davi.
“Alright. Trus kalo bisa jaga sikap dan nggak usah cari masalah,” tambah Radit sambil menepuk bahu adiknya.
Mereka berdua lantas menuju kamarnya masing-masing. Radit sangat lega karena apa yang pernah dia jelaskan pada Davi dipahami oleh Davi. Padahal, Radit takut kalo adiknya mengira dia tidak sayang pada Davi. Karena Radit salah satu panitia kegiatan orientasi untuk siswa baru di sekolahnya dan Davi juga masuk di sekolah yang sama, Radit tidak ingin kalua Davi dikerjain habis-habisan karena merusak kegiatan orientasi gara-gara kakaknya ngebocorin konsep kegiatan.
Seusai istirahat sekitar pukul 2 siang, Radit mendatangi kamar adiknya. Ternyata Davi masih tertidur pulas di ranjang dan raut wajah yang pucat terlihat jelas oleh Radit. Radit membangunkan dan mengajaknya untuk makan siang. Davi menolak karena males dan nggak nafsu untuk makan siang. Radit dengan susah payah membujuk dan merayu adiknya dan akhirnya mau juga untuk makan.
“Kamu tadi belum sarapan ya?” tanya Radit
“Sudah kok,” balas Davi dengan santai
“Tapi wajahmu terlihat pucat. Katanya besok mau masuk. Trus udah minum obat pa belum?” sahut Radit sambil menuangkan minuman ke gelas Davi.
“Kakak kayak mama aja. Nanyain seperti itu. Tadi aku cuma makan sedikit. Kalo kebanyakan juga nggak bakal kenyang karena habis itu pasti keluar lagi,”sambung Davi.
“Kalo belum sembuh total, kamu nggak usah masuk dulu,” saran Radit.
Belum sempat Radit menutup mulutnya Davi udah kabur ke toilet. Radit hanya bisa tertawa kecil tapi juga merasa kasihan melihat penderitaan adiknya. Saat Radit melanjutkan makan siangnya terdengar suara mobil kedua orangtuanya yang pulang dari tempat kerja mereka.
“Sedang makan ya. Siapa makan kok nggak dihabisin?” sapa Mama Selve pada Radit.
“Ya, Ma. Disentuh aja belum. Orangnya udah kabur duluan ke toilet,” balas Radit.
“Kamu sudah minum obat, Nak?” tegur Mama Selvi pada Davi yang berjalan dari arah toilet.
“Ya udah dong ma. Sekarang frekuensinya udah turun kok,” sambung Davi.
“Maksudnya apa?” bals Mama.
“Mungkin frekuensi penjualan tiket toilet.” sahut Radit dengan tawanya.
“Ehm, lagi di ruang makan kok ngebahas hal seperti itu,” potong Papa Rudi yang baru datang.
Papa Rudi dan Mama Selvi lantas bergabung untuk makan dengan menu yang telah disajikan oleh Mbok Darsih. Setelah selesai menyantap hidangan makan siang, semua anggota keluarga bersantai di taman belakang di dekat kolam renang. Papa Rudi membuka obrolan dengan pengumuman kepada kedua putranya bahwa nanti sore akan pergi ke Surabaya.
“Mama nggak ikut kan?” tanya Davi dengan penasaran.
“Sebenarnya mama nggak pengen ikut. Karena papa pergi sekitar dua minggu, mama terpaksa ikut. Masak liburan lima hari di Bandung masih kurang?” balas Mama Selvi.
“Nanti sekalian papa dan mama mampir ke rumah nenek kalian.” sambung Papa Rudi.
“Jam berapa papa dan mama berangkat?” tanya Radit
“Mungkin sekitar pukul 5 sore. Nanti biar diantar Ujang ke bandaraa. Atau kamu aja?” jawab Papa Rudi.
“Tapi nanti Radit pukul 4 sore harus datang untuk persiapan kegiatan orientasi besok,” terang Radit.
“Jadi kalian besok udah masuk sekolah. Kalo Davi belum sembuh total nggak usah masuk aja dulu,” sahut Mama Selvi.
Davi hanya mengangguk kerena dia menahan sakit mulesnya dan dia berpura-pura izin istirahat di kamar. Padahal dia sibuk di toilet. Papa dan mama juga beranjak menuju kamar untuk merpersiapkan barang-barang bawaan sedangkan Radit masih bersantai di taman sambil chatting pake HP dengan pacarnya.
“Sudah pulang kak. Kok cepat benget?” tanya Davi sambil memegang perutnya.
“Nanti sore balik lagi. Malahan nginep di sekolah. Trus besok pagi udah dimulai orientasinya,” jawab Radit sembari menyerahkan sebuah map pada adiknya.
“Kok udah dapat kwitansi daftar ulang dan dan ID Card buat kegiatan orientasi. Padahal Kak Radit nggak mau aku suruh. Apa nanti teman kakak nggak curiga?” balas Davi seraya melihat isi berkas-berkas dalam map.
Radit lantas tersenyum pada adiknya dan menjelaskan bahwa bukan dirirnya yang melakukan itu tetapi tadui dia titip pada siswa baru yang lainnnya. Tentunya Radit tidak tega melihat adiknya yang sedang sakit perut itu mengurusi hal tersebut sampai datang ke sekolah. Radit sangat menyayangi adiknya itu seperti adik kandungnya sendiri. Orangtua Davi telah mengadopsi Radit dari rumah sakit karena putra pertama mereka telah diculik oleh saingan bisnis ayah Davi.
“Kalo kamu sakit, besok nggak usah masuk aja dulu,” kata Radit saat mereka menuju lantai dua.
“Aku udah mendingan kok. Nggak perlu khawatir,” balas Davi dengan santai.
“Tapi kalo ada sesuatu kamu tanggung sendiri akibatnya. Dan kamu ...,” sahut Radit belum selesai
“Oke. Aku tahu semua itu. Trus yang terpenting aku nggak bakal bilang kalo aku adiknya Kak Radit. Gitu kan?” balas Davi.
“Alright. Trus kalo bisa jaga sikap dan nggak usah cari masalah,” tambah Radit sambil menepuk bahu adiknya.
Mereka berdua lantas menuju kamarnya masing-masing. Radit sangat lega karena apa yang pernah dia jelaskan pada Davi dipahami oleh Davi. Padahal, Radit takut kalo adiknya mengira dia tidak sayang pada Davi. Karena Radit salah satu panitia kegiatan orientasi untuk siswa baru di sekolahnya dan Davi juga masuk di sekolah yang sama, Radit tidak ingin kalua Davi dikerjain habis-habisan karena merusak kegiatan orientasi gara-gara kakaknya ngebocorin konsep kegiatan.
Seusai istirahat sekitar pukul 2 siang, Radit mendatangi kamar adiknya. Ternyata Davi masih tertidur pulas di ranjang dan raut wajah yang pucat terlihat jelas oleh Radit. Radit membangunkan dan mengajaknya untuk makan siang. Davi menolak karena males dan nggak nafsu untuk makan siang. Radit dengan susah payah membujuk dan merayu adiknya dan akhirnya mau juga untuk makan.
“Kamu tadi belum sarapan ya?” tanya Radit
“Sudah kok,” balas Davi dengan santai
“Tapi wajahmu terlihat pucat. Katanya besok mau masuk. Trus udah minum obat pa belum?” sahut Radit sambil menuangkan minuman ke gelas Davi.
“Kakak kayak mama aja. Nanyain seperti itu. Tadi aku cuma makan sedikit. Kalo kebanyakan juga nggak bakal kenyang karena habis itu pasti keluar lagi,”sambung Davi.
“Kalo belum sembuh total, kamu nggak usah masuk dulu,” saran Radit.
Belum sempat Radit menutup mulutnya Davi udah kabur ke toilet. Radit hanya bisa tertawa kecil tapi juga merasa kasihan melihat penderitaan adiknya. Saat Radit melanjutkan makan siangnya terdengar suara mobil kedua orangtuanya yang pulang dari tempat kerja mereka.
“Sedang makan ya. Siapa makan kok nggak dihabisin?” sapa Mama Selve pada Radit.
“Ya, Ma. Disentuh aja belum. Orangnya udah kabur duluan ke toilet,” balas Radit.
“Kamu sudah minum obat, Nak?” tegur Mama Selvi pada Davi yang berjalan dari arah toilet.
“Ya udah dong ma. Sekarang frekuensinya udah turun kok,” sambung Davi.
“Maksudnya apa?” bals Mama.
“Mungkin frekuensi penjualan tiket toilet.” sahut Radit dengan tawanya.
“Ehm, lagi di ruang makan kok ngebahas hal seperti itu,” potong Papa Rudi yang baru datang.
Papa Rudi dan Mama Selvi lantas bergabung untuk makan dengan menu yang telah disajikan oleh Mbok Darsih. Setelah selesai menyantap hidangan makan siang, semua anggota keluarga bersantai di taman belakang di dekat kolam renang. Papa Rudi membuka obrolan dengan pengumuman kepada kedua putranya bahwa nanti sore akan pergi ke Surabaya.
“Mama nggak ikut kan?” tanya Davi dengan penasaran.
“Sebenarnya mama nggak pengen ikut. Karena papa pergi sekitar dua minggu, mama terpaksa ikut. Masak liburan lima hari di Bandung masih kurang?” balas Mama Selvi.
“Nanti sekalian papa dan mama mampir ke rumah nenek kalian.” sambung Papa Rudi.
“Jam berapa papa dan mama berangkat?” tanya Radit
“Mungkin sekitar pukul 5 sore. Nanti biar diantar Ujang ke bandaraa. Atau kamu aja?” jawab Papa Rudi.
“Tapi nanti Radit pukul 4 sore harus datang untuk persiapan kegiatan orientasi besok,” terang Radit.
“Jadi kalian besok udah masuk sekolah. Kalo Davi belum sembuh total nggak usah masuk aja dulu,” sahut Mama Selvi.
Davi hanya mengangguk kerena dia menahan sakit mulesnya dan dia berpura-pura izin istirahat di kamar. Padahal dia sibuk di toilet. Papa dan mama juga beranjak menuju kamar untuk merpersiapkan barang-barang bawaan sedangkan Radit masih bersantai di taman sambil chatting pake HP dengan pacarnya.
***
Bersambung ke Sebuah Keputusan (Bagian 2)
ehm, uwdah selesai apa blm nich ceritanya
BalasHapus